PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH
"Membangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien dalam rangkapemulihan ekonomi nasional dan memperkokoh kesatuan panjang", merupakan tema
yang aktual dan sangat menantang.
Marilah kita soroti masalah pembangunan ekonomi daerah dalam konteks
pemulihan ekonomi nasional. Proses pemulihan ini masih berjalan tersendat-sendat.
Banyak pihak memperkirakan bahwa proses ini masih akan panjang. Thesis "multiple
equilibria" yang ditawarkan oleh Jeffrey Sachs dan Steven Radelet membantu
menerangkan mengapa krisis ekonomi di Indonesia telah menjadi krisis yang demikian
meluas dan mendalam. Pada intinya, krisis menjadi meluas dan mendalam karena faktorfaktor
penularan (contagion), panik (panic) dan salah penanganan (mishandling).
Tampaknya proses pemulihan ekonomi nasional juga ditandai oleh adanya "multiple
equilibria". Ini bukan disebabkan oleh contagion tetapi oleh complacency; bukan oleh
karena panic tetapi oleh karena faktor politics; tetapi mungkin sama-sama disebabkan
oleh mishandling. Bila di waktu lalu mishandling itu bersumber pada faktor politik, kini
mishandling juga disebabkan oleh faktor politik ditambah dengan incompetence.
Sejauh ini yang banyak disoroti adalah pengaruh dari kepentingan politik dan
kepentingan kelompok terhadap proses pemulihan ekonomi. Intervensi politik merupakan
gangguan terbesar bagi pemulihan ekonomi. Intervensi politik mempersulit
pemberantasan KKN. Intervensi politik memperlambat, bahkan bisa menghentikan,
reformasi ekonomi. Intervensi politik merupakan sumber distorsi ekonomi yang
berdampak ekonomi yang luas. Dalam suasana transisi kepemimpinan politik, sejak Mei
1998 hingga Nopember 1999, intervensi politik cukup menonjol. Tetapi setelah kita
mempunyai pimpinan baru yang legitimate, intervensi politik tampaknya masih akan
kental, walaupun dalam bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Era yang kita masuki
sekarang adalah suatu era politik yang ditandai oleh gairah partisipasi yang besar dari
partai-partai politik, baik melalui DPR atau di luar DPR. Dinamika politik baru ini belum
bisa dan belum biasa membedakan antara pilihan politik yang luas dan kepentingan
politik yang sempit. Sementara itu naluri dan emosi cenderung menggerakkan bandul
pilihan kebijakan dari ekstrema yang satu ke ekstrema yang lain.
Namun politik hanyalah satu dari sejumlah faktor yang mempengaruhi proses
pemulihan ekonomi. Yang juga mempunyai pengaruh besar, tetapi kurang mendapatkan
perhatian, adalah faktor kelembagaan (termasuk perangkat perundang-undangan dan
hukum) dan kemampuan atau kapasitas (capacity). Politik, kelembagaan, dan kapasitas,
kesemua itu mempengaruhi pengembangan kebijakan (policy development), yang pada
gilirannya ikut menetapkan agenda, membentuk pola serta mewarnai pelaksanaan
program pemulihan ekonomi.
Agenda, pola serta program pemulihan ekonomi sebenarnya telah diletakkan sejak
pertama kali dirumuskan suatu Memorandum Ekonomi yang merupakan lampiran dari
Letter of Intent (LOI) Pemerintah Indonesia kepada Dana Moneter Internasional (IMF)
pada akhir Oktober 1997. Program itu berjangka waktu 3 tahun. Kita tentu masih ingat
dengan jelas mengapa Memorandum Ekonomi itu berkali-kali harus direvisi dan bahkan
mengalami strengthening, yang tepatnya diterjemahkan sebagai "pengketatan". Jika
dipelajari sebab-sebab dan arah perubahan dari rangkaian LOI selama ini akan segera
terlihat bahwa proses pemulihan ekonomi sejauh ini memang ditandai oleh "multiple
equilibria".
Pengketatan yang dimaksudkan di atas tercermin dalam perumusan program yang
semakin luas dan semakin rinci. Secara anekdotal pengketatan ini diungkapkan sebagai
penambahan pekerjaan rumah, semula untuk mengerjakan 10 soal (dalam LOI pertama),
kemudian ditambah menjadi 50 soal (dalam LOI berikutnya), dan akhirnya menjadi 120
soal. Pekerjaan rumah itu terus bertambah karena pekerjaan rumah yang sebelumnya
tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Agenda pemulihan menjadi semakin banyak
dan rumit. Pihak-pihak tertentu melihat LOI sebagai rangkaian "kondisionalitas"
(conditionality) yang dituntut oleh IMF dari Indonesia. Dari sudut penglihatan ini,
anekdot yang lebih sinikal menggambarkan strengthening itu sebagai penerapan disiplin
yang terus meningkat (oleh IMF kepada kita). Semula kita diperlakukan sebagai murid
SMU, kemudian sebagai murid SLU, lalu diperlakukan semakin ketat sebagai murid SD,
atau bahkan sebagai murid TK. Proses pernilaian (review) yang semula dijadwalkan
sekali setiap enam bulan diperpendek menjadi sekali dalam dua bulan.
Tetapi LOI dan Memorandum Ekonomi itu sebenarnya adalah program Pemerintah
Indonesia, hasil negosiasi dengan IMF. Dokter IMF yang kita panggil datang memang
membawa resepnya sendiri, dan sejak semula kita tahu obat apa yang akan diberikan.
Namun banyak mata agenda dalam program pemulihan ekonomi itu, khususnya program
reformasi struktural berasal dari kita sendiri, dan merupakan kelanjutan dari proses
reformasi yang kita laksanakan sejak pertengahan tahun 1980an. Walaupun terjadi
pengketatan, terutama dalam program reformasi struktural itu, kondisi obyektif telah
memungkinkan terjadinya "pelonggaran", seperti tercermin dalam perubahan target
APBN. Semula IMF menggariskan surplus sebesar 1% PDB, target yang juga ditetapkan
dalam program pemulihan ekonomi Thailand. Target ini diubah menjadi defisit sebesar
1% PDB, kemudian meningkat menjadi 3,5% PDB dan 6% PDB, bahkan dirasakan
menjadi terlalu longgar ketika dimungkinkan defisit sebesar 8,5% PDB. Pemerintah
sekarang menetapkan sendiri target yang lebih ketat, yaitu defisit sebesar kurang dari 5%
PDB.
Faktor politik tampaknya merupakan sebab mengapa IMF sering dikambinghitamkan.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam beberapa hal IMF telah memberikan obat
yang keliru dan yang termasuk fatal, seperti likuidasi 16 bank pada tanggal 1 Nopember
1997, tanpa memperhitungkan kemungkinan dampaknya yang ternyata begitu luas dan
merugikan. Tetapi persoalan utama dalam program pemulihan ini terdapat dalam
konstruksinya. Program pemulihan ekonomi, apakah melibatkan 10 atau 50 atau 120
mata agenda, seharusnya merupakan penurunan dari suatu kerangka kebijakan yang
koheren (coherent). Kondisi ekonomi politik yang ada selama 33 bulan terakhir ini
tampaknya belum memungkinkan kita untuk merumuskan kerangka kebijakan tersebut.
Alhasil, kita cenderung untuk begitu saja mengambil alih suatu kerangka kebijakan yang
berasal dari luar tanpa kita sendiri sempat untuk mengembangkannya dan
menyesuaikannya dengan kondisi kita.
Pemerintah sekarang tampaknya sulit menjalankan program yang merupakan
kelanjutan dari program sebelumnya, apalagi program yang telah menjadi begitu rinci.
Bahkan sangat mungkin tim ekonomi dalam pemerintah sekarang tidak mendukung
paradigma ekonomi yang mendasari program tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa
pemerintah baru ini tidak mengajukan program yang lain? Pemerintah sekarang
tampaknya juga berkeberatan jika diperlukan sebagai murid TK karena kesalahan
pemerintah terdahulu. Tetapi mengapa pemerintah baru ini juga mengulangi kesalahan
pemerintah lama dengan tidak melaksanakan isi dari LOI-nya sendiri?
Apakah pemerintah baru tidak merasa memiliki program itu? Kelemahan dalam
pengembangan kebijakan mungkin merupakan sebab utama mengapa program pemulihan
itu tidak diturunkan dari suatu paradigma ekonomi yang jelas dan menjadi landasan dari
kebijakan ekonomi pemerintah ini. Tanpa rasa pemilikan (ownership) itu maka
pelaksanaannya akan tersendat-sendat. Salah satu contoh adalah kebijakan harga BBM.
Penyesuaian harga BBM digambarkan sebagai sesuatu yang dipaksakan oleh IMF.
Padahal, perbaikan dalam penetapan atau pembentukan harga BBM merupakan
kepentingan kita sendiri. Selama ini kita telah terjebak dalam kebijakan populis yang
salah kaprah. Harga BBM dibuat semurah mungkin dengan memberikan subsidi.
Besarnya subsidi BBM ditentukan oleh keadaan APBN dan bukan atas dasar pernilaian
tentang kelayakan bagi penerimanya. Ini berarti bahwa harga BBM ditetapkan atas dasar
kemampuan fiskal pemerintah dan mengabaikan kelangsungan penyediaannya secara
efisien. Karena itu persoalan penyediaan menjadi semakin kacau, dan tidaklah
mengherankan bila beban subsidi menjadi semakin membengkak. Ironisnya, kebijakan
subsidi itu semakin menjauhi prinsip keadilan. Suatu program jangka menengah sudah
lama diperlukan untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Harga BBM di Indonesia
sama sekali tidak masuk akal baik bagi kelangsungan penyediaannya maupun dilihat dari
kaca mata pembangunan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan. Pemerintah
bersama DPR memutuskan untuk menurunkan subsidi secara selektif dan bertahap serta
dengan memberikan kompensasi bagi penduduk miskin. Menjelang penerapannya
keputusan itu tiba-tiba dibatalkan, antara lain dengan pertimbangan bahwa kondisi fiskal
memberikan peluang untuk melanjutkan kebijakan populis yang salah kaprah itu.
Pemerintah yang terjebak dalam kebijakan populis yang salah kaprah ini akan
menghadapi banyak kesulitan dalam proses memulihkan ekonomi.
Kelemahan dalam pengembangan kebijakan yang juga mempunyai pengaruh luas
dan dalam adalah yang menyangkut kebijakan pelepasan aset oleh BPPN. Kebijakan
memaksimalkan nilai perolehan tidak dapat diterapkan tanpa suatu kriteria, tetapi
memang tidak jelas apakah ada kriteria obyektif yang dapat dipakai. Tetapi duduk
persoalannya sudah jelas. Proses pelepasan yang lambat juga memperlambat proses
pemulihan ekonomi dan membuat biaya restrukturisasi menjadi semakin tinggi. Bila
diandaikan bahwa secara rata-rata tingkat pengembalian maksimal yang dapat dicapai
adalah 32% dari nilai buku, mungkin perlu dibuat suatu kesepakatan bahwa pelepasan
segera dengan perolehan sebesar hanya 20 sampai 25% merupakan pilihan kebijakan
yang cukup masuk akal. Dalam pelaksanaan tugasnya BPPN juga tidak boleh dibebani
dengan kebijakan yang mempunyai tujuan lain, misalnya suatu Indonesia-first policy atau
suatu kebijakan industri (industrial policy) dalam arti sempit. Kini terdapat banyak
godaan agar pemerintah menetapkan suatu kebijakan industri dengan melihat kesempatan
penerapannya karena BPPN menguasai aset industri yang demikian besar. Pengalaman
masa lalu dan juga dari negara lain telah menunjukkan besarnya kerugian yang diderita
dari penerapan kebijakan industri oleh birokrasi.
Kelemahan dalam konstruksi program pemulihan itu juga tercermin dalam apresiasi
yang rendah mengenai proses pembangunan kelembagaan dan kemampuan. Suatu
kebijakan persaingan (competition law) disiapkan dalam waktu kurang dari satu tahun
dan diundangkan tanpa ketegasan konsep dan kejelasan mengenai perangkat
kelembagaan yang bisa berfungsi. Proses pembentukan peradilan niaga (bankruptcy
court) juga demikian sehingga menghasilan peradilan yang sama sekali tidak mempunyai
kredibilitas dan semakin memperparah proses restrukturisasi perbankan dan dunia
korporat yang sudah berjalan demikian lambat. Upaya memperbaiki keadaan ini dengan
mengangkat hakim ad hoc tidak akan berhasil jika tidak dapat diberikan jaminan
keselamatan bagi para hakim ad hoc tersebut.
LOI juga menetapkan untuk membuat Bank Indonesia (BI) menjadi suatu lembaga
yang independen, dan sejak setahun lalu BI sudah dinyatakan sebagai lembaga
independen. Tetapi hingga hari ini belum ada kejelasan, termasuk mungkin bagi BI
sendiri, apa yang diartikan sebagai lembaga independen itu. Ini menjadi masalah karena
kita memang belum mempunyai tradisi di mana lembaga-lembaga pemerintahan yang
independen berinteraksi secara baik dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan.
Prinsip-prinsip penadbiran (governance) yang baik dapat mengembangkan pola-pola
interaksi ini, juga dengan melibat pelaku-pelaku non-pemerintah. Prinsip-prinsip ini juga
masih harus kita kembangkan, mungkin pada awalnya dengan meminjam berbagai
konsep dari luar. LOI juga menetapkan mata agenda ini sebagai bagian dari proses
pemulihan ekonomi dan pembangunan jangka menengah.
Uraian ini menunjukkan betapa pentingnya pengembangan kebijakan serta pembangunan
kelembagaan dan kemampuan dalam dan bagi proses pemulihan ekonomi dan untuk
menjamin pembangunan ekonomi berkelanjutan. Persoalan ini telah menjadi semakin
sulit dan rumit karena proses pemulihan kita ini dilaksanakan dalam suatu era globalisasi
yang tidak hanya menyempitkan ruang tetapi juga menyusutkan waktu. Pembangunan
kelembagaan dan kemampuan membutuhkan waktu, tetapi kita dituntut untuk mengakselerasi
proses ini agar bisa berpartisipasi dengan sukses dalam ekonomi global.
Sementara itu pengembangan kebijakan ekonomi, politik dan sosial yang tepat untuk
menghadapi globalisasi juga semakin dipersulit oleh merebahnya gelombang "antiglobalisasi"
yang penuh retorika salah kaprah dan kerancuan yang bisa menyesatkan.
Dalam konteks inilah kita dihadapkan pada persoalan membangun ekonomi daerah
yang kompetitif dan efisien. Marilah kita pelajari lebih dahulu bagaimana kita menilai
daya saing suatu ekonomi. Daya saing suatu ekonomi tidak dapat dinyatakan oleh
ukuran-ukuran parsimonial seperti Revealed Comparative Advantage (RCA) yang
berlaku untuk suatu komoditi tertentu dan bersifat ex post. Suatu konsep yang lebih luas
perlu dikembangkan, walau pun Paul Krugman bersikeras bahwa konsep competitiveness
bukanlah suatu konsep untuk diterapkan pada suatu ekonomi (negara) tetapi lebih tepat
bagi perusahaan-perusahaan dalam ekonomi (negara) bersangkutan.
Setiap tahun lembaga seperti World Economic Forum (WEF) dan International
Institute for Management Development (IIMD) menerbitkan daftar peringkat daya saing
internasional sejumlah negara. Indeks daya saing itu ditetapkan berdasarkan pernilaian
atas delapan kelompok karakteristik struktural ekonomi bersangkutan. Kedelapan
karakteristik itu adalah: (1) keterbukaan terhadap perdagangan dan keuangan
internasional; (2) peran fiskal dan regulasi pemerintah; (3) pembangunan pasar finansial;
(4) kualitas infrastruktur; (5) kualitas teknologi; (6) kualitas manajemen bisnis; (7)
fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pembangunan sumber daya manusia; dan (8) kualitas
kelembagaan hukum dan politik. Menurut ukuran ini daya saing ekonomi sebenarnya
ditentukan oleh ketiga faktor tadi: kebijakan, kelembagaan dan kemampuan.
Pengembangan ketiga faktor ini merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah
yang kompetitf. Pada akhirnya kekuatan kelembagaan dan kemampuan nasional
seharusnya bukanlah yang dicerminkan dengan yang terdapat di Jakarta tetapi dengan
yang ada di seluruh Indonesia. Daya saing ekonomi daerah tidak dapat dilihat dalam
konteks nasional, yaitu antar ekonomi daerah, tetapi harus dikembangkan dalam konteks
internasional. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembangunan ekonomi daerah
harus diselenggarakan dengan pola yang secara tegas berorientasi ke luar.
Dalam tahun-tahun mendatang ini agenda pembangunan ekonomi daerah akan
didominasi oleh program desentralisasi dan pengembangan otonomi daerah. Tujuan
program ini jauh lebih luas dari pembangunan ekonomi daerah, yaitu untuk
meningkatkan rasa keadilan, mengembangkan partisipasi rakyat dan suatu sistim sosialpolitik
yang demokratis, serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa. Pola
desentralisasi dan otonomi daerah yang dapat memenuhi semua tujuan itu tidak mudah
untuk dirancang. Tujuan-tujuan di atas ingin ditampung dalam UU No 22/1999 dan UU
No 25/1999. Dalam berbagai masih terdapat berbagai kerancuan dalam pelaksanaan
program ini. Salah satu kerancuan terlihat dari meningkatnya keraguan untuk
memberikan otonomi pada daerah Tingkat II.
Pengalihan kewenangan ke Tingkat II menjanjikan pengembangan partisipasi rakyat
dalam pembangunan dan pembangunan sistim yang semakin demokratis. Tetapi otonomi
di Tingkat II untuk beberapa tahun mendatang, mungkin sampai 10 tahun, belum tentu
menjamin terselenggaranya pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien
karena pengembangan kebijakan dan pembangunan kelembagaan dan kemampuan di
banyak daerah Tingkat II akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Lemahnya
pengembangan kebijakan serta kelembagaan dan kemampuan di daerah sangat tampak
dari minimimnya prakarsa di daerah dan usulan-usulan yang datang dari daerah untuk
melaksanakan program desentralisasi dan otonomi daerah. Di waktu lalu pembangunan
daerah digagaskan dan dilaksanakan terutama oleh pusat. Kini terdapat bahaya bahwa
proses desentralisasi juga akan diselenggarakan secara tersentralisasi.
Peranan pusat mungkin akan tetap besar dalam bidang fiskal. Arsitektur fiskal pola
lama sangat timpang secara vertikal walaupun cukup seimbang secara horizontal.
Dorongan untuk merombak arsitektur ini sangat masuk akal tetapi bila tidak dirancang
dengan baik bisa menghasilkan artistektur fiskal yang kurang timpang secara vertikal
tetapi penuh dengan ketimpangan secara horizontal. Suatu keseimbangan vertikal dan
horizontal merupakan prasyarat bagi terjaganya kesatuan bangsa. Dalam rancangbangun
baru peranan pusat untuk menjaga keseimbangan horizontal itu dilakukan melalui Dana
Alokasi Umum (DAU) yang mungkin akan tetap besar selama 10 tahun mendatang.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya merupakan salah satu pencerminan kemampuan
daerah, tetapi keragaman yang besar dalam kemampuan itu sudah menunjukkan bahwa
selain masalah sequencing dalam desentralisasi dan pemberian otonomi juga perlu
dirancang pelaksanaan bertahap sesuai kemampuan masing-masing daerah.
Data-data untuk tahun 1996 menunjukkan bahwa secara rata-rata PAD untuk 53
kotamadya mencapai sekitar 22,4% dari total penerimaan sedangkan PAD untuk 232
kabupaten mencapai 10,3%. Suatu pemetaan berdasarkan PDRB per kepala dan PAD
sebagai persen dari total penerimaan menunjukkan bahwa dari jumlah kabupaten tersebut
hanya 17 kabupaten (4 di luar Jawa dan Bali) mempunyai PAD dan PDRB per kepala di
atas rata, sedangkan 103 kabupaten mempunyai PAD dan PDRB per kepala di bawah
rata-rata. Untuk ke 53 kotamadya, hanya 8 kotamadya (semua di Jawa dan Bali) yang
mempunyai PAD dan PDRB per kepala di atas rata-rata, sedangkan sebanyak 26 atau
sekitar 50 persen, berada di bawah rata-rata.
Program desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pekerjaan besar dan harus
berhasil dengan baik. Melihat keragaman kemampuan maka pelaksanaannya harus
didasarkan pada sequencing yang jelas dan penerapan bertahap menurut kemampuan
daerah. Dalam proses pemulihan ekonomi nasional, pelaksanaan program desentralisasi
yang tergesa-gesa tanpa kesiapan memadai akan mengganggu pemulihan ekonomi yang
pada gilirannya akan merugikan pembangunan ekonomi daerah sendiri. Maka sangat
mungkin diperlukan suatu kesepakatan baru. Proses desentralisasi tidak perlu
diakselerasi. Yang perlu diakselerasi adalah pengembangan kelembagaan dan
kemampuan, termasuk untuk pengembangan kebijakan, pada tingkat daerah -- khususnya
daerah Tingkat II. Ini merupakan kerja nasional yang harus mendapat prioritas pertama
dan dilaksanakan terutama di daerah. Inilah inti dari pemberdayaan ekonomi daerah yang
merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi daerah yang kompetitif dan efisien
Donlot juga PPT, contoh IPM profil Kecamatan disini
0 komentar:
Posting Komentar